CHARLES DE FOUCAULD – Pahlawan Sahara

Posted by Lances On Monday, March 1, 2010 2 comments

Matahari telah tinggi bertahta di alam angkasa. Teriknya bukan kepalang. Tanah sekitarnya tandus, hanya pasir kering saja nampak membentang luas. Demikianlah Tuhan dahulu menciptakan padang gurun yang luas seperti di Afrika.

Di padang gurun kering inilah dia berjalan berhari-hari terbakar teriknya padang pasir. Sekarang ia kelihatan sangat lelah, jalannya terhuyung-huyung hampir tak kuasa lagi melanjutkannya.
Siapa dia itu sebenarnya? Dia orang Perancis yang menyamar. Namanya : Charles de Foucauld.
Sesungguhnya apakah kehendaknya, maka ia berada di daerah terlarang Maroko itu? Itulah tempat orang-orang yang sangat fanatik. Bila orang Kristiani sampai ke situ berarti dirinya terancam oleh penjara, siksaan dan mati. Apakah yang dilakukannya di daerah berbahaya tersebut? Mari kita simak ceritanya.
Sewaktu Charles masih kecil ia hidup di kota Strasbourg dengan ayah, ibu dan adiknya, Mimi. Ayahnya seorang bangsawan. Terhadap keluarganya Charles sangat cinta, terlebih kepada ibunya, yang mendidik Charles untuk mencintai Tuhannya.

Di rumah Charles ada sebuah altar kecil. Tiap-tiap malam ia berlutut di muka altar itu, berdoa. Kadang-kadang ibu senang mengajak putera-puterinya berjalan-jalan di luar kota, dan mereka senang mengumpulkan bunga, yang kemudian diletakkan dan dipersembahkan di bawah kaki Salib Suci di gunung Kalpari di Strasbourg.

Atau kerapkali memetik bunga-bungaan yang sangat harum untuk menghias Gereja. Demikian didikan ibunya terhadap anak-anaknya. Ia selalu mengingatkan mereka supaya cinta akan Tuhan, akan Yesus yang bersembunyi dalam tabernakel.

Tetapi sayang bagi Charles semua ini cepat berakhir. Tahun 1864 ia sudah tak beribu-bapa lagi. Waktu itu umurnya baru 6 tahun. Ia dan saudaranya sekarang harus ikut neneknya. Tetapi entah bagaimana ia dididik oleh neneknya, maka Charles lalu berubah sama sekali. Ia sudah tidak menghiraukan agamanya lagi. Di sekolah pun menjadi malas. Kelakuannya pun tidak menyenangkan, hingga ia pernah diancam akan dikeluarkan dari sekolah. Cita-citanya hendak menjadi seorang opsir, tetapi bukannya untuk menambah semarak negerinya. Tidak! Keinginannya sendiri saja yang selalu ia cari. Orang lain tidak dipedulikannya. Ia menempuh ujian masuk sekolah kemiliteran St.Cyrus.
“Nek, saya berhasil baik. Diterima. Tetapi pangkatnya rendah saja.” Demikian ia berkata kepada neneknya.
“Ah, kau Charles!” jawab neneknya kecewa.
“Tak mengapa, bukan? Sekarang memang masih rendah, tetapi kan banyak kesempatan untuk naik pangkat bagi orang seperti saya!”

Telah lama Charles tinggal di St.Cyrus; ia lalu pindah ke akademi taruna berkuda yang telah terkenal. Di situ hidupnya semakin tidak karuan, penuh dosa dan egois. Diri sendiri sajalah yang selalu ia pikirkan, bermabuk-mabukan dengan minuman keras dan berjudi. Tingkah lakunya sangatlah tidak baik, sehingga kerap ia dimasukkan kepenjara. Dalam keadaan yang demikian ini tentulah saudaranya dan keluarganya sangat mengkhawatirkannya : “Akan apa jadinya pemuda itu?”

Pada suatu ketika pasukan berkuda keempat, yaitu resimen dimana Charles ada, sudah waktunya bertugas di tanah Algeria untuk menjaga ketentraman disana. Dan sikap hidup Charles tidak berubah. Atasannya sangatlah benci melihat kelaukuan Charles, hingga pada suatu hari atasannya berkata : “Ah Charles, tak lain kerjamu kecuali menodai bendera Perancis! Kau harus meninggalkan jabatanmu, kembali ke Perancis!”
Dan ia pun kembali ke tanah airnya meskipun kelakuannya pun tidak berubah, sampai pada suatu hari , ada suatu peristiwa.

Ketika ia sedang dalam kamarnya duduk termenung-menung, masuklah dengan tiba-tiba seorang kawan : “Charles, suku di Algeria berontak sekarang. Resimenmu yang harus menghadapinya.”
“He, apa?” seru Charles kecewa. Segera mengambil pena dan kertas. Ia mengirimkan surat permohonan kepada menteri pertahanan : minta supaya ia diijinkan bergabung lagi dengan resimennya. Ia menyampaikan sesal dan minta dimaafkan karena kelakuannya yang demikian buruk itu : “Saya sangat sedih kalau teman-teman saya, para opsir dan serdadu-serdadu seperjuangan saya itu, bertempur, menderita dan gugur untuk bendera Perancis, sedang saya tidak diperbolehkan mati bersama mereka.”
Permintaannya diluluskan. Dan, ternyata bahwa ia sungguh-sungguh opsir yang jitu, berani dan bertekad. Ia kuat menahan kesukaran-kesukaran gurun pasir. Panas, haus, letih tiada dihiraukannya. Sebaliknya dengan hati gembira ia menahannya. Sikapnya selalu pantang mundur, dengan berani ia terjang segala bahaya. Segala perhatiannya dicurahkan untuk menjaga keselamatan anak buahnya. Sifatnya yang kasar itu : pemboros, penjudi telah hilang lenyap. Hidupnya bukan untuk dirinya sendiri lagi. Sekarang telah ia arahkan untuk kepentingan negaranya.

Pemberontakan telah dipatahkan. Charles kembali ke tanah Perancis. Di sana ia mendapat tugas dalam pasukan yang berada di dalam kota. Ia menganggap bahwa itu sangat membosankan. Charles telah tertarik kepada benua Afrika karena hubungannya dengan suku-suku bangsa padang gurun itu. Maka Charles meminta ijin untuk kembali lagi ke Afrika, dan mempelajari adat kehidupan mereka. Permintaannya itu ditolak dengan tegas.

“Bagaimana pun juga saya akan pergi!” demikian ia membuat putusan kepada teman-temannya. Segera ia minta berhenti dari jabatannya, meninggalkan hidup ketentaraannya, dan kembali ke Afrika Utara.
Setibanya di Algeria, ia memikir-mikirkan negara tetangganya, yaitu tanah Maroko. Penduduk negeri itu sangat benci kepada orang-orang Kristiani : yang berani masuk ke daerahnya diancam dengan siksaan yang berat dan pembunuhan. Charles telah mengerti hal itu semua, tetapi ia sangat ingin meninjau daerah itu.
Charles memikirkan jalan untuk dapat masuk menyelidiki. Tentu saja harus menyamar sebagai orang Yahudi, dan di samping itu sangat perlu juga mengetahui bahasa dan kehidupan orang Yahudi serta adat kebiasaan orang-orang Maroko.

Ia mulai bekerja. Dan pada saat bulan Juni 1883 Charles berangkat menyelidiki tanah Maroko dengan menyamar sebagai orang Yahudi. Charles mengerti apa artinya ia menyamar demikian. Ia tentu akan diperlakukan dengan kasar, dihinakan, dilempari batu, dan ia harus berjalan di sepanjang pasir dengan tidak memakai sepatu. Apalagi sekarang ia menyamar sebagai Yahudi yang sangat miskin, itu berarti ia harus tidur di tempat yang kotor. Makan sedikit dan tidak enak.

Sudah 11 bulan Charles melakukan penyelidikan. Pada suatu ketika Charles sedang berjalan dikawal tiga orang serdadu. Tetapi tiba-tiba dua orang dari mereka itu malahan menangkap dia, dan segala barangnya dirampas, satu setengah hari ia terpaksa ada di dalam tangan kedua orang serdadu itu, yang sebetulnya mereka adalah penyamun. Mungkin ia akan dibunuh. Tetapi akhirnya ia dapat kembali ke Perancis dengan selamat. Di sana ia diterima dengan baik oleh setiap orang. Setelah beberapa lama ia mulai menulis kisah perjalanannya itu, dan membuat buku tentang tanah Maroko, penduduk serta adat kebiasaannya. Ini semua menyebabkan namanya menjadi masyhur. Ia dihadiahi medali emas oleh lembaga ilmu bumi karena hasil karyanya sangat memuaskan, dan keberaniannya serta ketabahannya pantas dijunjung tinggi.

Tetapi ia sendiri tidak merasa tentram hidupnya, meskipun ia menjadi kenamaan dan kaya. “Saya tidak lagi beragama maka hidupku tidak dapat menjadi tentram dan bahagia. Bagaimana! Orang Maroko itu sangat percaya kepada Allah, meskipun mereka itu kejam sekali. Orang Yahudi begitu juga meskipun kelakuan mereka itu tiadak senonoh. Tetapi saya tidak beriman. Tidak berTuhan.” Jiwa Charles merasa kesepian karena kepercayaan akan Penebus yang sudah wafat demi kepentingannya, telah hilang.
Pada suati hari Charles menjumpai seorang Imam di kamar pengakuan, katanya : “Saya datang untuk meminta petunjuk. Saya sudak tidak beriman.”
“O, berlutulah dan akukanlah segala dosamu, dan kamu akan percaya kepada Tuhan lagi.” Charles menurut. Segala dosanya yang telah dilakukan dalam hidupnya yang menyedihkan itu diakuinya kemudian ia menyambut Sakramen Mahakudus.

Sejak itu hidup Charles berubah. Dahulu ia hidup hanya untuk dirinya sendiri, sekarang hidupnya menjadi penebus segala dosanya, dan akhirnya datanglah hari bagi Charles untuk melepaskan segala kemasyhurannya.

Di atas puncak pegunungan tanah Perancis yang tinggi ada sebuah biara yang disebut : “Biara Perawan Maria dalam salju”. Charles ingin menjadi seorang biarawan, maka ia melamar untuk menjadi warga biara tersebut.
“Apa pengalaman saudara?” tanya Pater kepala biara kepada Charles.
“Saya belum begitu berpengalaman, Pater,” jawabnya dengan rendah hati.
“Kalau begitu,” jawab Pater kepala.
“Baiklah kamu belajar memegang sapu. Kami ingin mengetahui dahulu bagaimana pengalamanmu dalam memegang sapu.”

Demikian Charles mulai bekerja dengan sapu, dan melakukan tugas yang rendah lainnya dengan senang hati. Ia menjadi seorang biarawan Trapis. Hidupnya adalah hidup yang sangat berat. Hidup berdoa, bekerja keras dan berpantang.

Tujuh tahun ia hidup sebagai biarawan Trapis. Banyak berdoa untuk orang-orang kafir. Charles ingin menolong mereka ini. Demikianlah semangatnya. Tetapi dalam waktu itu juga didengarnya suara dari dalam hatinya : “Pergilah masuk padang kesunyian!”
Charles sama sekali belum tahu bagaimana ini mungkin. Setelah tujuh tahun itu sesungguhnya Charles sudah mau mengucapkan kaul akhirnya. Tetapi ini tidak terjadi. Ia keluar dari biara. Ia keluar tidak karena merasa berat dalam melakukan tugas hidupnya, tetapi karena Charles merasa mempunyai panggilan istimewa. Charles menuju tempat suci, tempat Tuhan dulu hidup, di sana mungkin ia akan mengetahui panggilannya dengan lebih jelas.

Di kota Nasaret terdapatlah sebuah pertapaan suster-suster Klaris. Pada suatu hari para suster ini melihat seorang asing yang sedang berlutut di kapel. Lama orang itu berada di sana. Para suster menjadi sangat bingung dan risau hatinya.
“Mungkin ia seorang pencuri, yang menunggu kesempatan,” demikian pikir seorang dari mereka. Tetapi orang itu tidak lain hanyalah Charles, yang sedang berdoa.
Charles minta agar ia diterima sebagai pelayan Susteran. Dan itu juga dikabulkan. Di situpun Charles berat hidupnya. Ia harus mengerjakan banyak pekerjaan yang menjemukan. Ia tidur di kamar bekas gudang. Hanya berbantalkan sebuah batu dan dua buah papan sebagai alasnya. Di tempat tinggal yang sedemikian itu Charles berdoa, belajar dan berpantang.

Lama Charles tinggal di situ. Lambat laun makin jelaslah baginya apa kehendak Tuhan. Ia harus tetap hidup sebagai pertapa. Tetapi ia juga harus menjadi seorang Imam. Ia harus menjadi seorang Imam pertapa di gurun Sahara, supaya Misa Kudus dapat dipersembahkan juga di situ dan Sakramen Mahakudus dimuliakan di tengah-tengah Sahara. Di situ ia harus berusaha mengertikan orang Sahara akan Tuhan Yesus, yaitu dengan hidup sebagai Yesus sendiri, hidup rendah hati, melarat, dan cinta sesama.
Charles kembali ke biaranya yang semula di Perancis. Ia mengaturkan itu semua kepada Pater kepala biara. Charles melanjutkan pelajarannya di situ, dan pada akhir tahun ia ditahbiskan menjadi Imam. Pada pentahbisannya itu hadirlah saudara perempuan Mimi. Ia ingat ketika mereka itu masih kecil senang menghias altar dengan bunga-bunga yang indah-indah. Dan sekarang alangkah gembiranya mengenang saudaranya yang yang telah menjadi seorang Imam di altar. Charles segera berangkat menuju Afrika. Disitulah ia akan mempertaruhkan segala nasibnya.
 
Di gurun banyak terdapat wabah (Oase). Satu diantaranya bernama Beni Abbes. Daerah itu terletak di tanah orang-orang Tuareg yang sangat bengis. Dan tanah ini menjadi jajahan Perancis. Maka terdapatlah di Beni Abbes suatu benteng tempat serdadu-serdadu Perancis bertugas di situ. Charles memilih tempat ini untuk menjalankan tugasnya. Setelah sampai di Beni Abbes, Charles segera membeli tanah, dan didirkannya sebuah gereja kecil dari batu dan tanah. Ia membuat gambar Stasi Jalan Salib dengan amat indahnya, lalu didirikannya pula beberapa rumah untuk sakristi, kamar tamu, dll. Akhirnya dibuatnya tembok berkeliling, dan lengkaplah pertapaannya. Demikian selesailah sudah pekerjaannya dan mulailah ia bekerja menuaikan tugasnya yang lebih luhur.

Dalam pekerjaannya Pater Charles selalu ramah. Dengan cinta kasih melayani setiap orang. Demikian pertapaannya selalu penuh dengan orang-orang dan para serdadu yang datang hendak minta nasehat. Orang Arab yang mengembara, budak-budak yang tidak sedang bekerja, senang berkumpul di situ. Ada juga orang banyak datang minta pertolongan karena sakit. Ia memberi makan pada mereka ini semua, dan merawatnya sebaik mungkin. Ia mengajar tentang cinta kepada Tuhan dan kasih Tuhan kepada manusia. Kerapkali di pertapaannya datang lebih dari enam puluh anak-anak orang Arab. Ia berharap sekali akan dapat mengertikan mereka tentang Penebusnya. Tetapi orang-orang tua mereka, orang yang sangat fanatik, menolak tidak memperbolehkan anak-anak mereka diberi pelajaran.

Pada suatu hari Pater Charles mendapati seorang anak kecil di kamar tamu. Ia bercakap-cakap dengan anak itu dan tahulah ia bahwa anak ini baru berumur tiga belas tahun, dan telah enam tahun menjadi budak. Kecuali itu juga mengetahui bahwa anak ini mengerti sedikit tentang agama Katolik.
“Inginkah kamu tinggal di sini dengan saya?” tanya Pater Charles.
“Dengan senang, Pater,” jawab anak itu dengan penuh kegembiraan. Lalu ditebusnyalah anak itu dari tuannya dengan semua uang miliknya. Tak lama lagi anak itu dipermandikannya dengan nama Petrus. Tetapi sayang, Petrus kelihatan jelek kelakuannya. Petrus senang berbuat apa-apa yang tidak boleh diperbuat. Dan pada suatu hari ia mengatakan bahwa ia ingin pulang. Charles mengembalikan anak ini kepada orang tuanya dengan amat sedihnya.

Belumlah membawa hasil usahanya. Tak seorang pun menjadi Katolik kecuali seorang perempuan negro yang sudah tua. Tetapi tidaklah ia pantang mundur. Pater Charles menjadi termashyur dihormati di seluruh padang gurun Sahara karena jasa-jasanya.. Tetapi orang-orang tetap tidak mau kenal akan Tuhan Yesus... “Kalau demikian saya harus lebih erat berhubungan dengan orang-orang itu lagi, supaya mereka lebih mudah dapat mengerti akan Yesus,”pikir Charles.

Timbulah kesempatan pula. Pada tahun 1904 dikirimkan serdadu-serdadu Perancis untuk menjaga ketentraman di pedalam tanah Tuareg, yaitu di dataran tinggi Hogger, yang terletak di gurun Sahara, 600 mil dari Beni Abbes. Charles turut para serdadu itu. Di sana ia dapat mempelajari bahasa dan adat kebiasaan bangsa Tuareg. Tetapi sewaktu para serdadu kembali, Charles tinggal, tak turut bersama mereka. Ia mau sendirian hidup di gurun Sahara luas di antara orang-orang biadab buas, yang hidupnya hanya merampas, berperang dan membalas.

Charles mendirikan sebuah pertapaan kecil di desa mereka, yaitu di Tamanrasset. Ia selalu berpantang, bersembahyang, ramah, lembut dan rendah hati. Ia menjadi sahabat dan penasihat bangsa yang masih biadab itu. Ia pergi ke sana ke sini, sedia membantu, apa yang mereka kerjakan. Ia memlihara, turut merasakan apa yang mereka alami. Ia menyembuhkan orang sakit. Mengajar orang bertani, dan mengajar perempuan merajut. Orang-orang Tuareg membalas akan kebaikannya, berkali-kali menunjukkan cinta kasihnya. Pada suatu hari ketika Charles jatuh sakit, dan orang-orang Tuareg itulah yang merawat dan mengembalikan lagi kekuatannya. Pada waktu lain Charles terdapat pingsan oleh seorang suku Tuareg. Ia segera memberitahukannya ke seluruh desanya. “Marabout (orang baik) digigit ular berbisa.” Segera berlarilah orang-orang ke tempat Charles dengan ketakutan, karena gigitan ular itu sangat membahayakan. Dengan cara yang ngeri mereka mengobatinya. Besi yang di panaskan ditaruh pada lukanya dan kakinya sehingga melepuh. Demikian ia menjadi lemah dan lama tak dapat berjalan. Tetapi akhirnya ia sembuh juga dari gigitan ular berbisa.

Charles besar pengaruhnya. Kerap ia bertindak sebagai jaksa terhadap orang Tuareg. Para pemimpin dan orang terkemuka kerap meminta nasehat kepadanya. Tetapi meskipun demikian ia belum berhasil mentobatkan seorang pun. Kekecewaan yang pahit dirasainya. Lima belas tahun bekerja, belumlah berbuah.
Harapan, permohonan, doanya belumlah terjawab. Tak seorang pun yang dapat dipermandikannya. Seorang saja, yang tinggal bersamanya untuk mencoba turut dalam panggilannyapun, tidak jadi. Hidupnya dirasakannya terlalu berat.

Pecahlah Perang Dunia I, tahun 1914. Perang menjalar sampai Afrika Utara. Dan timbullah ajak dorongan : “Sekarang datanglah kesempatan untuk membunuh semua orang Kristiani!”

Waktu malam hari Pater Charles hanya seorang diri saja dalam pertapaannya di Tamanrasset. Langkah kaki orang-orang semakin mendekat. Tetapi Pater Charles tidak mengerti bahwa ia telah dikepung. Pintu diketuk. Seketika itu juga dibuka. Mendadak sekali segerombolan orang Tuareg, yang tidak ia kenal sama sekali, menyerbu ke dalam kamarnya. Pater Charles lalu tahu bahwa saat akhirnya telah tiba. Ia berlutut dan berdoa. Ia diikat dengan ganasnya, dan akhirnya ditembak mati. Dan dalam waktu yang bersamaan orang-orang kejam itu membunuh pula dua orang serdadu Arab yang bermaksud pergi kepertapaannya itu. Dengan tanpa peduli, ketiga jenasah itu dilemparkan ke dalam parit seperti melemparkan binatang saja layaknya.

Pater Charles memang telah lama merindukan pengorbanan jiwanya sebagai seorang martir. “Alangkah indah dan bahagianya mati dianiaya.” Demikian pernah ia berkata. Dan sekarang tahulah sudah ia betapa bahagianya mati menjadi saksi kebenaran. Sebagai Tuhan Yesus dahulu wafat dibunuh oleh bangsa yang sangat Ia cintai, demikian sekarang Pater Charles dibunuh oleh orang-orang Tuareg yang sangat ia cintai, dan yang tidak sedikit menerima korban dan pertolongan dari Pater Charles.

Setahun kemudian Jendral Laperrine bermaksud memakamkan teman sejawatnya itu dengan upacara Katolik yang layak. Maka jendral Laperrine lalu mencari mayat Charles di sekitar biara. Dan alangkah terkejutnya ketika ia dapati, bahwa tubuh Charles masih utuh, sedang tubuh kedua serdadu yang berada di dekatnya tinggal beberapa tulang yang berserakan saja.
“Mengapa tuan Jendral demikian kagum? Bukankah Pater Charles Almarhum itu seorang yang suci?” demikian kata seorang serdadu Arab, mengingatkan jendral Laperrine.

Dan tahun 1933 berdirilah suatu kongregasi baru, yaitu Biarawan Bruder-Bruder Yesus, yang bertujuan mengikuti jejak Pater Charles de Foucauld. Biarawan inilah yang meneruskan perjuangan Pater Charles, bekerja di antara orang-orang yang masih miskin jiwanya demi Tuhan Yesus.
Dan pada tahun 1949 Bruder Yesus ini diikuti pula oleh perkumpulan Suster-Suster Yesus yang selalu sedia dengan rendah hati bekerja di tanah Afrika. Bruder-bruder dan Suster-suster Foucauld, dan mereka berhasil mengumpulkan panen yang ditanam oleh Pahlawan Sahara itu.


Di Dardilly, di sebuah desa di tanah Perancis – letaknya tak berjauhan dengan kota Lyon – diamlah suatu keluarga petani Pierre Vianney; isterinya bernama Marie Charavay.
Pada tahun 1786 – yaitu tiga tahun sebelum revolusi Perancis (1789) – pada tanggal 8 Mei, lahirlah dari keluarga Vianney itu seorang anak laki-laki. Anak itu diberi nama Jean Marie Baptiste. Berkat asuhan sang ayah dan ibu, anak itu menjadi besar, sampai datang kepada usianya untuk masuk sekolah.
Tetapi setelah datang waktunya bersekolah, maka Vianney yang masih kecil itu tak dapat bersekolah oleh karena waktu itu adalah waktu revolusi; dengan kata lain : waktu perang. Maksud untuk menyekolahkan Vianney kecil itu terpaksa tertangguh beberapa tahun. Apakah akibatnya? Vianney itu baru mendapat kesempatan untuk bersekolah ketika umurnya sudah sembilan tahun. Ia mengikuti pelajaran pada sekolah yang letaknya jauh dari tempat kediaman orang tuanya. Oleh karena jauhnya, maka ia memondok di rumah bibi Marguerita.

Vianney adalah seorang murid yang rajin dan giat belajar. Ia selalu dipuji oleh gurunya karena rajinnya dan perhatiannya kepada pelajaran, terlebih pelajaran Katekismus. Tingkah lakunya tak dapat dicela. Bukan saja di sekolah ia menunjukkan adat kebiasannya yang baik, tetapi di segala tempat pun ia tetap melaksanakannya. Di rumah bibinya ia selalu bekerja, menolong pekerjaan di rumah dengan rajin dan kerap kali ia berkorban banyak dengan jalan berpuasa atau melawan nafsunya atau keinginannya yang kecil-kecil. Begitulah hidupnya sehari-hari.
Apa yang terjadi? Tuhan memanggilnya untuk menyerahkan dirinya guna mengabdi pada Dia ... Dia yang maha kuasa ... dan Vianney menyerahkan segenap hidupnya untuk keselamatan jiwa orang-orang. Ia mau menjadi Imam.

Ketika umurnya 19 tahun, ia masuk Seminari Menengah. Karena Vianney itu murid yang tertua di Seminari menengah, maka mulai nyata bahwa Vianney agak terbelakang dalam mempelajari bahasa Latin. Ia menemui banyak kesukaran dalam mempelajari bahasa tersebut. Ia mulai membayang-bayangkan kebun ayahnya yang indah-indah, penuh dengan tumbuh-tumbuhan yang subur, yang menyegarkan mata, yang menyebabkan ia ingin menjauhi pelajaran. Ia ingin pulang ke rumah dan keladang orang tuanya.
Sedang ia mengangan-angankan ini, datanglah seorang Imam kepadanya, sambil berkata : “Kau mau jadi apa, nak?” Vianney tidak menjawab apa-apa. Lalu gurunya itu berkata : “Kalau kau mau pulang, itu berarti cita-citamu akan lenyap, Selanjutnya lebih baik kau berkata selamat tinggal Imamat! Dan selamat tinggal jiwa-jiwa manusia yang akan saya tolong.”

Perkataan ini sangat menggerakkan jiwa dan sanubari Vianney, lalu pikirnya : “Tidak, tidak ... bukan begitu. Tuhan tidak akan senang dengan kelakuanku yang begitu itu.” Ia tetap bersembahyang. Akhirnya selesai juga masa siswanya di Seminari menengah, dan melanjutkan pada Seminari Tinggi.
Kepandaiannya dibandingkan dengan teman-teman mahasiswa di Seminari, adalah amat kurang. Tetapi kelakuan, kerajinan dan ibadatnya selalu yang terbaik, sehingga ia dapat menyaingi teman-temannya dan berhasil menamatkan sekolahnya dengan baik. Waktu berumur 29 tahun ia ditahbiskan menjadi imam. Sekarang Vianney menjadi Pastor di Ars.

Ars adalah sebuah kota yang sepi, letaknya kira-kira 30 kilometer dari kota Ecully. Jalan ke Ars agak jelek. Terpaksa ia berjalan kaki ke sana. Beberapa perabot rumah, tempat tidur kayu dan buku-buku diangkut dengan sebuah pedati. Pagi-pagi benar lonceng Gereja di Ars dibunyikan, artinya ada Pastor baru yang datang. Semua orang berkata : “Kita mendapat seorang Pastor baru, lihatlah!”
Akan tetapi hati mereka kecewa ketika melihat Pastornya yang bertubuh kecil dan kurus itu.
Di kota ini banyak benar perbaikan-perbaikan dan jasa-jasanya yang dapat ditunjukkannya. Pastor Vianney adalah satu-satunya orang sosiawan yang ulung; Vianney mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, rumah piatu dan lain-lain lagi. Rumah Gereja yang telah rusak diperbaikinya. Tetapi yang termulia lagi yang diperbaikinya adalah rumah-rumah tempat Roh Kudus : yaitu Jiwa Manusia. Orang tua-muda, besar-kecil, laki-laki, wanita, yang ahlaknya mulai dan sudah agak merosot, dibawanya ke arah kebaikan hidup yang sewajarnya. Makin lama, makin banyak orang yang mau datang ke Ars, perlu mengunjungi Pastor Vianney dan mengakukan dosanya supaya diampuniNya. Setan tidak senang akan kemajuan ini!

Pada suatu malam terdengar gaduh yang amat sangat di loteng Pastoran. Pastor Vianney berkata kepada dirinya : “Apakah agaknya bunyi itu? Mungkin ada pencuri!” Juga di halaman terdengar pekik dan teriakan. “Ah, apakah gerangan bunyi-bunyian itu?” Lekas-lekas pastor pergi ke atas akan menyelidiki apakah sebenarnya telah terjadi. Ternyata tidak ada apa-apa! Mulailah ia menjadi takut untuk tinggal sendirian dalam rumah. Untuk teman, dipanggilnya Andre, anak seorang tukang kereta yang berumur 28 tahun, supaya tidur di Pastoran pada malam hari. “Aku senang datang, Pastor! Nanti kusiapkan senapanku,” kata Andre. Si Andre menceriterakan pengalamannya pada malam itu :
-Waktu sudah malam, saya menuju ke Pastoran. Pukul 10 berkatalah Pastor : “Mari kita tidur sekarang.” Aku disuruhnya tidur dalam bilik muka. Pastor tidur di bilik belakang. Tak dapat saya tidur. Perasaan saya
tidak enak. Selalu merasa gelisah, seakan-akan ada sesuatu yang akan terjadi. Memang ... betul sangkaku.

Tepat pada jam satu tengah malam, kedengaranlah olehku gaduh di pintu luar. Rupanya ada orang yang mau merusakkan kuncinya. Pintu itu dipukulnya keras-keras sehingga di dalam rumah terjadilah keributan yang bukan kepalang. Seolah-olah guruh gaduhnya, di mana-mana bunyi berderak-derik kedengaran. Kuambil senapan dan aku lari kejendela. Kubuka jendela itu ... Tak ada apa-apa. Tetapi rumah masih tetap bergerak, bergetar kira-kira seperempat jam lamanya. Kakiku pun gemetar. Hingga delapan hari kemudian seolah-olah kakiku masih terasa gemetar. Waktu kegaduhan itu mulai, Pastor memasang pelitanya. Ia datang kepadaku. “Ada mendengar apakah engkau?”katanya. “Tuan Pastor sendiri dapat menyaksikan, bahwa saya telah bangun dan memegang senapan. Rumah ini goncang, seakan-akan ada gempa bumi!”
“Kau takut?” bertanya Pastor pula. “Tidak, tetapi kurasa kakiku gemetar. Pastoran ini rupanya akan roboh. Itu mungkin setan!” Akhirnya gaduh berhenti, dan kami pun dapat tidur pula. Keesokan harinya datanglah pula Pastor katanya : “Sanggupkah lagi kau menemani saya?” Jawabku : “Saya tak sanggup lagi, tuan Pastor!”-

Begitulah Pastor Vianney tinggal sendirian dalam Pastoran dan diganggu oleh setan. Gangguan setan terhadap Pastor Vianney adalah sangat lama. Lamanya sampai 35 tahun.
Kemudian ternyata bahwa serangan-serangan setan itu menandakan bahwa ada pendosa berat yang bertobat dan akan datang mengakukan dosanya. Makin banyak pendosa yang bertobat, makin hebat gangguan setan. “Memang setan itu bodoh,’ kata Pastor Vianney, “Karena kalau ada serangan setan, aku sangat bergembira. Besok ada pula pendosa akan bertobat. Aku senang. Setan itu tentu marah! Baiklah begitu saja!”
Tiap-tiap musafir merasakan keheranan pada pertemuan yang pertama kali dengan Pastor Vianney.

Keindahan jiwanya terbayang pada roman mukanya. Keindahan itu tentu tidak kelihatan, kalau ia bukan seorang yang suci. Pastor Vianney berbadan kecil, mukanya kurus, tinggal sisa kulit pembalut tulang. Mukanya agak kuning keemasan, karena banyak duduk di tempat pengakuan; mukanya telah beralur-alur, karena hampir tak mengenal tidur. Rambutnya yang kasar disisir kebelakang, sampai jauh ke tengkuk, hampir menjadi putih semuanya. Matanya yang biru menyinarkan kegembiraan yang luhur. Penglihatannya yang terang dan tajam, seolah-olah dapat menyelami jiwa manusia. Badannya kurus kering, urat-uratnya timbul karena seringnya berpuasa. Namun sampai akhir hidupnya segala pancaindera dan kekuatannya tetap utuh sehingga sanggup menjalankan kewajibannya. Dahinya dan penglihatannya membayangkan isi jiwanya ialah kesederhanaan, perasaan halus, dan kebaikan hati.
Belum pernah terdengar bahwa Pastor Vianney melawan hukum kasih. Sifat Pastor Ars adalah luhur dan suci.

Perkataan Pastor Raymond menyaksikan banyak tentang sifat-sifatnya yang baik. Beliau berkata : “Yang sangat menggerakkan hatiku yaitu sifat Pastor Vianney terhadap puji-pujian yang terus menerus disampaikan kepadanya. Ia tetap rendah hati meskipun pujiab sebanyak itu tentu memabukkan kalau ditujukan kepada orang lain. Pastor Vianney sungguh yakin bahwa musafir-musafir yang datang ke Ars, hanya untuk melihat dia dari dekat. Meskipun demikian belum pernah saya melihat kesombongan hatinya atau mendengar perkataan yang angkuh. Katanya : aku hanya sebuah alat di tangan Tuhan.Segala pujian harus disampaikan kepadaNya, bukan kepadaku.”

Pakaian Pastor Vianney selalu sederhana tetapi bersih dan lengkap. Ia tak pernah mengenakan pakaian yang mahal. Orang pernah membelikan jas yang mahal baginya, tetapi diberikannya kepada orang miskin. Rumahnya pun bersahaja juga. Seorang yang bernama Jean Marie Chavay memberikan sepasang sepatu baru kepada Pastor Vianney. Betapa besar keheranannya melihat, banhwa Pastor itu masih memakai sepatu tua yang sudah usang. Pastor Vianney berkata : “sayang saya lupa membuang sepatu-sepatu tua itu.”
Dengan marah Chavay bertanya : “Sudahkah kau berikan yang baru itu pada orang miskin?” “Tentu saja begitu,” jawabnya dengan tenang. Pastor Ars itu pecinta orang miskin.

Lama-kelamaan ada tanda-tanda ajaib terjadi. Di antara orang-orang yang berjejal akan mengaku dosa, ada seorang suster bernama Dosithee. Ia berpenyakit paru-paru yang hebat dan menurut keputusan dokter penyakitnya tidak akan sembuh lagi dan pasti akan mati. Sebelum sampai gilirannya akan mengaku dosa, ia dipanggil oleh Pastor Vianney supaya datang lebih dahulu untuk mengaku. Ia bertanya : “Kenapa suster mau sembuh?” Suster mengatakan sebab-sebabnya. “Silahkan sekarang pergi ke Kapel St. Philomena. Mintalah kesembuhanmu disana, sedang aku akan berdoa untukmu.” Suster Dosithee pergi berdoa ke tempat itu. Setelah itu segera terasa badannya sudah sembuh kembali. Umurnya pada waktu itu baru 25 tahun. Semenjak tanda yang ajaib ini terjadi, suster Dosithee masih hidup hingga umur 89 tahun.
Tanda ajaib yang lain lagi ialah : seorang puteri bernama Claudine menjadi buta dan tuli karena demam otak. Anak yang malang ini tidak dikenal oleh Pastor Vianney. Ia berdiri dengan orang banyak di muka Gereja.

Waktu itu Pastor Vianney lalu kesitu. Waktu beliau lihat anak itu, dipegangnya tangan anak itu disuruh mengaku dosa. Baru saja menerima berkat Imam, maka mata gadis itu mulai terbuka dan telinganya mulai mendengar seperti dahulu. Disangkanya bahwa ia baru sadar dari mimpi yang panjang. Setelah pengakuan dosa selesai, Pastor Vianney bernubuat : “Matamu telah sembuh.” “Tetapi kau akan menjadi tuli pula selama 12 tahun lamanya. Inilah kehendak Tuhan.” Claudine meninggalkan tempat pengakuan. Telinganya mulai tertutup lagi dan tak mendengar apa-apa lagi.

Peristiwa ini terjadi pada tanggal 1 Februari 1850. Tepat 12 tahun kemudian ia sembuh.
Masih banyak tanda ajaib yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia, atas permintaan Pastor Vianney.
Pastor Vianney menjadi tua. Sebenarnya badannya sudah lemah sebab hampir mendekati ajalnya. Namun, kebiasan-kebiasannya dipertahankanny. Berpuasa, tidur sedikit, tempat tidurnya keras. Meskipun sudah lelah, masih juga tetap mendengar pengakuan dosa pada waktu-waktu tertentu. Kelemahan, kelelahan dan keletihan badannya karena sudah tua tidak terlihat oleh orang banyak yang berziarah ke Ars.
Perayaan hari Paskah 24 April 1858, Pastor Ars dikerumuni oleh orang-orang Katolik Paroki, tua-muda, besar-kecil. “Anak-anakku, betapa indahnya pekerjaan kita. Kita sekalian telah memenuhi kewajiban kita dalam Gereja. Tuhan mendapat rumah dalam hatimu. Tidak lama lagi rumah Gereja baru, yang kamu usahakan bagiNya selesai. Tuhan minta, kamu harus memberikan. Kalau aku minta apa-apa, kamu memberikan juga. Kuucapkan terima kasih. Masih ada orang-orang berdosa di paroki kita. Tetapi aku pergi supaya orang lain dapat menjadikan mereka bertobat.!” Inilah kata-kata perpisahan Pastor Vianney yang mengetahui bahwa ajalnya makin dekat.

Sejak hari Jumat 29 Juni 1859 Pastor Vianney merasa sakit. Keluar dari Gereja dan Pulang ke Pastoran harus dituntun. “Pastor yang suci!” kata mereka itu kepada yang lain.
Tengah malam Pastor Vianney jatuh sakit payah. “Inilah saat kematianku; panggil Imam pengakuanku!” katanya.

Pada keesokan harinya pagi-pagi benar, dokter didatangkan. Sudah terlamapu lemahnya. Tak dapat lagi menjawab pertanyaan-pertanyaan. “Kalau panas hari ini berkurang, masih ada harapan; kalau panasnya tidak turun kita akan kehilangan Saudara Vianney. Masih banyak orang-orang musafir datang berduyun-duyun ke Pastoran Ars.

Betapa kesal hatinya mendengar Pastor Vianney sakit dan tak akan kelihatan hari itu Hanya beberapa orang yang diizinkan olehPastor Vianney untuk mengaku dosa di kamar tidur. Hari Sabtu keesokan harinya, makin banyak juga orang yang mencari Pastor Vianney untuk mengaku dosa. Seluruh penduduk kota Ars mengusahakan sedapat mungkin dengan jalan apapun supaya Pastornya tercinta dapat sembuh. Ada yang berembahyang, ada yang menyejukkan hawa di Pastoran. Ia menerima sakramen-sakramen terakhir. Betapa baik Tuhan; kalau manusia tak dapat pergi kepadaNya, maka Ia sendiri datang kepada kita.

Hari Kamis 4 Juli. Hari sudah jauh malam. Imam muda bernama Monnin membaca doa untuk orang yang akan mati. “Semoga Malaikat-Malaikat datang menyongsong dia dan menghantarkannya ke Jerusalem yang kekal.” Dengan ucapan doa itu sampailah ajalnya. Jiwa Joanes Maria Vianney meninggalkan badannya yang sudah tua, kembali kepada Tuhan. Pada saat itu ribut dan hujan lebat memecah diangkasa kota Ars.